Entri Populer

Kamis, 21 April 2011

Cerpenku: "H A T I di H A I T I"


H A T I    di    H A I T I

“K
emanusiaan adalah sifat manusia yang menggambarkan rasa saling mengasihi dan empati antar manusia itu sendiri…..rasa kemanusiaan saat ini sangat dibutuhkan karena………”.
“Telah terjadi berbagai peristiwa dalam sejarah manusia yang menggambarkan berkurangnya rasa kemanusiaan…..”
“Holacoust, pemboman WTC, penyerangan Palestina……”
Kata-kata yang keluar dengan berapi-api dari mulut Bu’Arni, guru Pendidikan Kewarganegaraan tidak membuat Hati tertarik sama sekali untuk memperhatikan pelajaran ini. Bukan karena dia membenci pelajaran ini, tapi lebih karena dia sangat membeci semua hal yang berbau “Kemanusiaan”. Sangat membecinya.
‘Kenapa semua orang harus repot-repot memikirkan masalah kemanusiaan? Toh itu tidak memberikan manfaat sama sekali untuk diri kita. Hanya membuang-buang waktu’, pikirnya. Hati masih terus memandang keluar jendela kelasnya. Tanpa memperhatikan gurunya sama sekali. Pikirannya melayang, ‘seandainya saja kata kemanusiaan tidak pernah diutarakan oleh orang-orang dimuka bumi ini, pasti papa dan mama masih ada disini. Pasti mereka tidak akan pergi meninggalkan Hati sendiri disini. K’Raka sibuk kuliah, sementara papa dan mama, sibuk berkeliling dunia untuk memperjuangkan apa yang sering disebut orang dengan “kegiatan kemanusiaan”. Mereka tidak pernah mempedulikan aku. Bahkan disaat aku membutuhkan mereka. Memang sih, K’Raka selalu berusaha untuk meluangkan waktu untukku, berusaha agar aku tidak merasa kesepian. Tapi itu saja tidak cukup. Aku butuh papa dan mama! Aku ingin seperti anak-anak yang lain. Yang bisa dengan bangga memamerkan angka 100 dikertas ulangan untuk papa, yang bisa curhat tentang cowok yang aku suka dengan mama, yang bisa menghabiskan akhir minggu bersama keluarga. Aku ingin merasakan hal itu. Semua yang tidak bisa aku dapatkan sejak kecil. Sejak kedua orang tuaku terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sebagai dokter, yang bercita-cita untuk mengabdikan diri mereka kepada orang-orang yang miskin, tidak mampu, bukan hanya orang-orang yang sakit saja. Mereka memiliki rasa kemanusiaan yang terlalu besar, bahkan sampai melupakan anak perempuan mereka sendiri. Yang sedang tumbuh dewasa. Yang sangat membutuhkan mereka!’
“Hati.”, terdengar suara samar-samar seseorang memanggil namanya.
“Hati!”, suara orang itu semakin jelas.
“Namira Hati Hermansyah!!!”. Hati tersadar dari lamunannya.
Ternyata itu suara Bu’Arni. ‘Ya ampun, mati aku!’, pikirnya.
“I..Iya Bu”, jawabnya terbata-bata sambil berdiri dari kursinya.
“Coba jelaskan kepada teman-teman kamu, apa yang dimaksud dengan kemanusiaan dan berikan contoh pelanggaran kemanusiaan yang pernah terjadi sepanjang sejarah.”
“Hm…sekarang Bu?”. “Tentu saja!”, Hati hampir terjatuh karena keget dengan bentakkan Bu’Arni.
“Hm…Kemanusiaan adalah…adalah…Sesuatu yang membuat seorang manusia menghargai manusia lain. Contoh pelanggaran kemanusiaan, saat kemarin Pa’Hendarso menghukum Andit karena tidak mengerjakan PR Matematika, dengan menjemurnya di lapangan Upacara.”, Hati tertunduk.
“Ha…ha…ha…”, spontan semua teman sekelasnya tertawa.
“Setuju Hati!”, kata salah seorang temannya.
“Kalau untuk kasus Andit sih, bukan Pa’Hendarso nya yang salah.”, kata temannya yang lain.
“Sudah..sudah. Tenang anak-anak. Hati, apa yang kamu lakukan dari tadi  sampai tidak mendengarkan penjelasan Ibu?”
“Maaf Bu, saya….”. Rrrrrriiiinggggggggg. Bel sekolah berbunyi.
‘terima kasih Tuhan’, keluhnya dalam hati.
“Baik Hati, kamu terselematkan karena bel ini. Khusus untuk kamu, tuliskan Essay sebanyak 1000 kata tentang kemanusiaan. Ibu terima minggu depan. Yang lainnya boleh pulang. Selamat siang”. Bu’Arni melangkah keluar meninggalkan ruang kelas.
***
“Hupfff…”. Hati langsung merebahkan dirinya di tempat tidur setibanya di rumah. Tanpa membuka sepatu, maupun seragam sekolahnya. Saat matanya hampir terlelap, tiba-tiba ada yang menggedor pintu kamarnya.
“Hati!”
“Hati, bangun!”
‘itu suara K’Raka!’, Hati segera bangun dari tempat tidurnya dan segera membukkan pintu.
“Ada apa Kak?”, tanya Hati bingung. K’Raka kelihatan pucat dan matanya menggambarkan sirat kesedihan.
“Kita harus segera ke bandara.”
“Ke Bandara? Buat apa? Hati kan baru pulang sekolah, makan saja belum. Kakak pergi sendiri aja ya? Hati capek, mau istirahat.”
“Tapi kita harus pergi bersama.”
“Emang ada apa sih Kak? Mau jemput siapa? K’Raka kok panik gitu? Mana kaya orang mau nangis…”. Hati melemparkan pertanyaan bertubi-tubi pada kakaknya. Tapi dia hanya menjawab, “Kita akan menjemput papa dan mama” kemudian menarik tangan Hati dan membawanya ke mobil.
Hati tidak bertanya-tanya apalagi. Hanya sebuah senyum bahagia yang tergambar di wajah cantiknya. ‘Akhirnya papa dan mama pulang juga’, batinnya.
Terakhir papa dan mama pulang ke Jakarta setahun yang lalu. Itupun hanya untuk beberapa hari, cuma mau mengurus perpanjangan pasport dan visa. Terakhir papa telepon kan tiga bulan yang lalu. Hati kangen banget sama papa dan mama. Pengen cerita banyak hal sama mereka. Hm..mudah-mudahan kali ini tinggalnya lama. Tapi kenapa tadi K’Raka kayak orang mau nangis ya? Kan seharusnya dia bahagia. Mungkin baru bertengkar lagi sama Mba’Sherry. Ga tau ah…yang penting aku mau ketemu mama.
Hati memandang keluar jendela mobilnya sambil terus memikirkan kedua orang tuanya.
***
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di bandara. Raka langsung membawa mobilnya ke terminal penerbangan luar negeri. Saat turun dari mobil, Hati heran karena melihat beberapa keluarganya juga ada disitu. Ada Om Romi, adik papa, Tante Dita, adik mama dan suaminya, Mba’Rena, dan beberapa orang lain yang tidak dikenal Hati.
‘Mereka mau jemput siapa ya?’, pikirnya.
Hati segera menuju ke arah keluarganya dan menyalami tangan mereka satu persatu.
“Om Romi mau jemput siapa? Kok bareng Tante Dita juga?”
“Om mau jemput papa dan mama kamu sayang.”
“Kok rame?”
Tiba-tiba tente Dita memeluk Hati sambil menangis. “Yang sabar ya Hati sayang”, bisiknya.
Ada apa ini? Hati jadi semakin bingung,
“Ada apa sih? Kenapa semuanya pada sedih?”
K’Raka datang menghampirinya, menggenggam tangannya dan berkata, “Kamu harus tau ini, kita semua kesini memang untuk menjemput papa dan mama. Hanya saja mereka sudah berbeda.”
“Maksud K’Raka?”
“Kita kesini untuk menjemput jenazah papa dan mama Hati. Mereka berdua meninggal di Haiti tiga hari yang lalu karena sebuah penyakit. Sebenarnya salah seorang staf mama ingin mengabarkan keadaan mereka saat sudah sekarat, tapi papa melarangnya karena takut kita berdua khawatir. Lalu mereka………………….”
Kata-kata kakaknya tak terdengar jelas lagi ditelinga Hati. Pandangan disekelilingnya kabur. Dia tidak bisa…tidak bisa…Dan kemudian dia jatuh.
***
P
eristiwa itu terjadi hampir enam bulan yang lalu. Hingga saat ini Hati belum bisa menerima kepergian kedua orang tuanya dengan ikhlas. Hari-hari dilaluinya dengan diam, baik di sekolah maupun di rumahnya sendiri. Dia tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun sejak hari menyedihkan itu. Raka telah kehabisan cara untuk menghibur hati adik kesayangannya. Hati tetap tidak berbicara bahkan dengan kakaknya sendiri. Hati hanya mengeluarkan suara untuk meminta bibi, pembantunya, melakukan sesuatu untuk dirinya.
Sebuah kotak berukuran sedang terletak di atas meja belajarnya. Sudah hampir enam bulan juga kotak itu berada disitu. Kotak itu dikirim bersama dengan jenazah kedua orang tuanya, berisi beberapa dokumen penting dan barang-barang milik ayah dan ibu Hati. Kotak itu ada dan tidak pernah dibuka.
***
Hari ini, Jumat, 2 Juni 2006.
Hati terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa pening, matanya bengkak. Semalaman dia menangis lagi hingga tertidur. Sekarang ini telah menjadi rutinitasnya setiap hari, meskipun tidak ada yang tahu dan menyadarinya.
“Bibi….”
“Bibi…..!”
Pintu kamar Hati terbuka, tampak seorang ibu setengah baya memasuki kamarnya.
“Iya, Non.”
“Tolong telepon ke sekolah ya. Hari ini aku izin ga masuk, bilang aja sakit.”
“Tapi, Non…dalam sebulan ini sudah sepuluh kali bibi minta izin ke sekolah, apa tidak apa-apa Non kalau hari ini izin lagi?”
“Bibi, ini bukan urusan bibi! Yang perlu bibi lakukan hanya menelpon ke sekolah dan minta izin untuk Hati, tidak perlu pakai protes ataupun banyak bertanya.”
“Iya Non. Maaf.”
Setelah pintu kamar tertutup, Hati beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi.
Sejam lamanya baru Hati keluar dari kamar mandi. Di samping tempat tidurnya telah disiapkan segelas susu dan sepiring nasi goreng dengan telur setengah matang kesukaannya. Dulu dia bisa menghabiskan nasi goreng itu dalam beberapa kali suapan, apalagi nasi goreng buatan mamanya. Tapi sekarang…Hati hanya memakan beberapa sendok dan meneguk sedikit susunya.
Setelah itu, dia berganti baju dan duduk termenung di atas tempat tidurnya. Untuk kesekian kalinya ia memandang kotak yang ada di atas meja belajarnya. Tiba-tiba muncul keinginan dihatinya untuk membuka isi kotak itu. Pikiran yang selama ini terus ia hindari. Ia berdiri, menuju meja, mengambil kotak itu dan kembali ke tempat tidurnya. Sambil duduk bersila di depan kotak itu, ia mulai mengeluarkan isinya satu persatu. Lama dipandanginya semua isi kotak itu. Beberapa lembar foto, foto K’Raka, fotonya, foto papa dan mama bersama beberapa pasien mereka, dan foto mereka berempat. Ada beberapa lembar dokumen yang kelihatannya penting, tapi Hati tak tertarik sama sekali untuk membacanya. Matanya tertuju pada sebuah notebook dengan sampul kulit berwarna coklat. Hati mengambil buku itu, membukanya dan mulai membaca…
Air mata Hati berjatuhan saat membaca notebook itu. Ternyata itu adalah notebook milik papanya yang mulai ditulis sejak mereka tiba di Haiti. Catatan itu berakhir ditanggal 6 Januari 2006, beberapa hari sebelum papa dan mama Hati meninggal. Berkali-kali papanya menulis tentang kerinduannya akan kedua anaknya, terutama Hati. Tetapi tulisan itu tidak sebanyak apa yang ditulis papanya tentang Haiti.
Ya Haiti.
Haiti adalah sebuah negara Republik di wilayah Karibia yang meliputi bagian barat pulau Hispaniola dan beberapa pulau kecil lainnya di Laut Karibia. Haiti merupakan negara kedua yang merdeka di Benua Amerika setelah Amerika Serikat. Dia juga salah satu produsen gula terpenting di dunia. Tetapi hal ini tidak menjadikan Haiti sebagai negara yang kaya, malah sebaliknya, Haiti merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Negara yang beribu kotakan Port au Prince ini dulunya dijajah oleh bangsa Spanyol dan Prancis sebelum merdeka pada tahun 1804 melalui revolusi budak. Pada awal kemerdekaannya, pemerintahan Haiti dipimpin oleh seorang keturunan Afrika, yang berarti menjadi pemimpin negara berkulit hitam pertama di kawasan benua Amerika. Negara ini berpenduduk sekitar 9 juta jiwa dengan menggunakan Bahasa Kreol sebagai bahasa sehari-hari bagi masyarakat Haiti. Selain bahasa Kreol, bahasa resmi di negara ini adalah bahasa Prancis.
Haiti adalah Negara termiskin di belahan barat. Kemiskinan yang diderita oleh Rakyat Haiti tidak bisa dilepaskan penindasan Imperialisme dan Neoliberalisme selama berabad-abad. Rakyat Haiti sendiri memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap penindasan tersebut. Sebanyak 400.000 budak Afrika, yang dipekerjakan pada perkebunan tebu dan kopi milik para kolonial termasuk yang pertama berjuang melawan perbudakan dan pada awal abad ke-19 memenangkan perjuangan mereka. Haiti menjadi Negara pertama kulit hitam yang mendapatkan kemerdekaan dari kolonialisme dan perbudakan Perancis. Namun begitu mereka dipaksa membayar hutangnya sebesar 150 juta Francs sebagai ganti rugi kepada bekas Negara penjajahnya Perancis.
Setelah berpuluh-puluh tahun rakyat Haiti menderita dan berjuang melawan rejim dan diktaktor boneka AS. Pada tahun 2004 setelah akhirnya memenangkan pemilihan presiden yang demokratis, Jean-Bertrand Aristide, digulingkan dan diasingkan dalam sebuah kudeta yang didalangi oleh AS dan kemudian diasingkan oleh Pemerintahan AS. Kebijakan-kebijakan neoliberal dipaksakan kepada rakyat Haiti; sektor pendidikan dan kesehatan diprivatisasi dan tarif impor bagi beras dipotong untuk membayar hutang luar negeri Haiti.
Tolok ukur kekayaan seseorang di Haiti adalah ketinggian tempat tinggalnya, semakin tinggi dari permukaan laut, semakin kaya. Setinggi permukaan laut, di ibukota Port au Prince dengan bilangan kumuh Cité Soleil dan Carrefour Feuilles, penduduk tidak memiliki kemungkinanan mendapat layanan kesehatan yang utama. Lorong-lorong di Carrefour Feuilles sangat sempit, orang hanya bisa berlalu berbaris satu persatu, jadi bagaimana mungkin ambulan bisa masuk.
Tampak gambaran menyedihkan sekitar kehidupan sehari-hari ratusan ribu penduduk setempat. Rumah-rumah papan dengan atap seng, hampir semuanya tidak memiliki saluran air ledeng apalagi sarana sanitasi. Air bersih dibagi-bagikan dengan mobil tanki yang berhenti di pinggir perkampungan. Penduduk mengambil air mereka dengan jeriken atau ember bersih. Kakus bentuknya lubang di halaman belakang. Lewat saluran got  kotoran ini langsung masuk ke laut.
Gambaran kehidupan yang tidak sehat itu dilengkapi dengan meluasnya perilaku sex bebas ditengah masyarakat Haiti. Hal ini menjadikan Haiti sebagai salah satu negara dengan pengidap HIV AIDS terbanyak di dunia, karena ini pula Haiti dituding sebagai negara utama penyebar HIV di wilayah Amerika Serikat.
Selain AIDS, penyakit yang saat ini berkembang dan menggerogoti masyarakat Haiti dalam jumlah besar adalah TB (Tuberculosis). Penyakit ini semakin berkembang karena dipicu dengan peningkatan epidemi HIV/AIDS. Di Amerika Serikat telah berkembang obat anti TB (OAT) yang cukup efektif dan mampu menekan penyebaran penyakit ini, akan tetapi untuk masyarakat Haiti, harga obat ini terlampau mahal untuk mereka jangkau. Belum lagi selesai dengan masalah biaya, timbul masalah baru yaitu munculnya penyakit TB dengan resistensi ganda yang dikenal dengan Multidrug Resistant Tuberculosis atau MDR TB. Haiti menjadi salah satu negara dengan pengidap MDR TB terbesar di dunia.
Hal inilah yang membuat saya dan istri saya terpanggil bergabung dengan dr.Paul Brown untuk membantu warga Haiti yang menderita penyakit ini.
……………
……………
Apa yang terjadi dengan diri saya? Beberapa hari ini seperti ada tanda-tanda penyakit TB mulai berkembang dalam tubuh saya. Batuk yang tidak berhenti, sering berkeringat ditengah malam tanpa sebab. Ya Tuhan, jangan sampai saya tertular penyakit ini. Lindungilah saya….
……………
……………
Hasil diagnosis telah keluar dan saya positif menderita MDR TB. Apa ini takdir yang harus saya jalani ya Tuhan? Menderita penyakit mematikan dengan jauh dari kedua anak saya. Saya pernah memohon kepada-Mu agar hanya saya yang menderita, tetapi kenapa Engkau memilih orang lain juga? Kenapa? Kenapa orang itu harus istri saya???
……………
……………
6 Januari 2006
Saya sudah memberitahukan asisten saya untuk tidak memberitahukan berita menyedihkan ini kepada Hati dan Raka. Pengobatan yang saya dan Rani jalani belum menampakkan hasil apa-apa, padahal sudah tiga bulan berlalu. Sepertinya penyakit ini semakin bertambah parah dan menggerogoti tubuh kami. Rani kini tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Saya pun seperti itu, tapi Alhamdulillah saya masih memiliki sedikit kekuatan untuk menulis…
***
Senin, 26 Maret 2007
Hari ini K’Raka telah resmi menjadi seorang dokter. dr. Raka Hermansyah
Hati seperti biasa sedang duduk termenung di atas tempat tidurnya. Ada suara ketukan terdengar dari arah pintu kamarnya.
“Hati, Kakak boleh masuk ga?”
“Iya.” Hati hanya menjawab seperlunya.
Pintu kamarnya lalu perlahan-lahan terbuka. Kakaknya masih memakai pakaian wisudanya.
“K’Raka tidak ganti baju dulu?”
“Itu nanti. Ada hal penting yang mau kakak bicarakan denganmu.”
“Hal penting?”
“Ya. Ini menyangkut masa depan kakak dan masa depanmu juga tentunya.” Sekarang kakaknya telah duduk di samping Hati.
“Mau bicara masalah apa?”
“Kakak akan berangkat ke Haiti.”
Bagai disambar petir, kata-kata kakaknya terasa begitu menyengat jantung Hati. Jantungnya jadi berdegup sangat kencang. Butiran air mata tiba-tiba jatuh di kedua pipinya.
“Kakak keluar dari kamar Hati!”
“Tapi Hati, dengar dulu penjelasan kakak.”
“Keluar…!” Hati membentak kakaknya.
“Hati ga mau mendengar penjelasan apa-apa lagi.”
“Tapi……..”
“Keluaaaar………!”
Hati berdiri dan menarik tangan kakaknya, lalu mendorongnya keluar dari pintu kamarnya.
‘Pakkkk!!!’ Hati membanting pintu kamarnya lalu menguncinya.
Terdengar suara K’Raka memanggil-manggil dari luar. Hati tidak peduli. Hati terduduk di depan pintu kamarnya. Kedua tangannya memeluk lutut. Kepalanya tertunduk. Hati diam. Hanya air matanya yang berbicara, mengalir tiada henti.
***
S
ejak hari itu Hati tidak mau keluar dari kamarnya. Berulang kali Raka mencoba mengajaknya berbicara, tetapi Hati sama sekali tidak mau bertemu dengan kakaknya itu. Hingga hari keberangkatan Raka, Hati tidak menemuinya. Pintu kamarnya hanya terbuka saat bibi datang mengantarkan makanan. Sudah lima hari dia tidak masuk sekolah. Padahal ujian kelulusan SMA nya tinggal dua minggu lagi.
            Hari keenam, Hati memutuskan untuk masuk sekolah. Dia berangkat, tiba di sekolah, mengikuti pelajaran hingga bel pulang berbunyi, dan meninggalkan sekolah kembali ke rumahnya. Semua itu dia lakukan tanpa mengeluarkan kata-kata. Teman-teman sekolahnya tidak ada yang berani bertanya dan mereka sudah memaklumi dengan kebiasaan Hati ini, bahkan guru-gurunya sekalipun.
            Hari-hari pun Hati lalui. Hingga tak terasa tibalah waktu pengumuman kelulusan. Hati dapat lulus walaupun dengan nilai pas-pasan. Padahal dulu dia adalah salah satu juara sekolah, namun peristiwa yang dilaluinya dalam kurun waktu satu tahun ini membuat dia tidak memiliki motivasi lagi untuk belajar. Saat ini dia belum memutuskan akan lanjut ke tingkat universitas atau tidak.
            Setelah pulang dari acara kelulusan, Hati langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
***
            Malam itu dingin, jam baru menunjukkan pukul 08.00, tapi suasana di luar sudah mulai hiruk pikuk. Setiap orang mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan tahun 2008 yang tinggal empat jam lagi.
            Hati terbaring diam di atas tempat tidurnya. Dari tadi dia ingin tidur, tapi matanya tidak bisa terpejam. Dia hanya melamun tanpa jelas apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba dia kaget dengan suara ketukan di pintu kamarnya.
“Non, boleh bibi masuk?”. Ternyata itu suara pembantunya.
“Iya Bi, masuk aja.”
Pintu kamarnya terbuka dan bibi masuk dengan membawa beberapa bundelan di tangannya.
“Ada apa Bi? Apa yang Bibi bawa?”
“Ini Non, surat buat Non.”
“Surat? Maksud bibi? Seingat Hati semua surat yang datang sudah Hati buang.”
“Iya Non, maafkan kelancangan bibi. Semua surat itu memang sudah Non buang, tapi bibi ambil kembali dan disimpan.”
“Disimpan? Untuk apa?”
“Semua surat ini kan dari Den Raka. Tapi Non langsung membuangnya tanpa mau membaca satu suratpun. Bibi pikir suatu saat Non pasti ingin membacanya, jadi bibi menyimpan semua surat-surat ini.”
Hati terdiam.
“Ya sudah, bibi simpan saja semua surat itu di atas meja.”
“Iya, Non.”
“Bibi permisi dulu, maaf sudah mengganggu Non malam-malam begini.”
“Tidak apa Bi.”
Pintu kamar Hati tertutup kembali.
            Hati beranjak dari tempat tidurnya. Menarik sebuah kursi dari samping meja belajarnya, kemudian duduk dan menatap surat-surat kakaknya.
‘Sudah setengah tahun lebih K’Raka pergi, tapi aku sama sekali tidak tahu kabarnya. Bukan K’Raka yang tidak memberi kabar, tetapi keegoisanku yang membuat hatiku bersikeras tidak mau membaca semua surat dari K’Raka. Hm…Apa sekarang sudah saatnya? Seperti yang dikatakan Bibi tadi, suatu saat aku pasti ingin membaca surat-surat ini. Aku harus berterima kasih kepada bibi karena telah menyimpan semuanya hingga saat aku siap untuk membaca tulisan tangan K’Raka. Dan sekaranglah waktunya.’
Hati mengambil surat pertama

Port au Prince, 20 April 2007

Salam cinta untuk Hatiku tersayang…
Kakak berdoa semoga saat membaca surat ini kemarahanmu pada kakak sudah reda. Maaf kakak baru sempat mengirim kabar, padahal kakak sudah tiba disini sejak 10 hari yang lalu. Kesibukan mengurus kepindahan kakak kesini penyebabnya. Disini mengurus migrasi sangat sulit, tidak semudah di Indonesia.
Kamu sehat-sehat sajakan Hatiku? Oh iya, kakak hampir lupa kalau seminggu yang lalu kamu baru saja mengikuti ujian SMA. Bagaimana ujiannya? Kakak yakin, untuk adik kakak yang pintar ini, ujian semudah itu pasti gampang dilalui. Semoga hasilnya nanti akan menggembirakanmu…Amin…
Hati, setelah tiba di kota ini, dengan melihat kondisi masyrakatnya kakak jadi memahami kenapa dulu Papa dan Mama rela mengorbankan waktu mereka untuk bekerja membantu masyarakat disini. Tentu kamu sering melihat gambaran kemiskinan yang ada di Jakarta, tetapi apa yang kamu lihat disana tidak akan separah apa yang kamu lihat disini. Negara ini adalah cerminan kemiskinan berkepanjangan ditengah negara-negara besar dan kaya di Amerika. Disini hampir semua masyarakatnya tidak memperoleh kehidupan yang layak. Mulai dari tempat tinggal, makanan, pendidikan, kesehatan, sampai air bersih. Disini kamu akan banyak menemukan begitu banyak rumah-rumah dengan lantai tanah, parit-parit dengan air yang menghitam, anak-anak yang putus sekolah, pengangguran dimana-mana, balita-balita yang terkena busung lapar dan berbagai potret penderitaan yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Ditambah lagi dengan wabah penyakit AIDS dan TB yang mewabah diseluruh kawasan negara ini.
Yang terakhir kakak sebutkan tadi adalah bidang yang menjadi pekerjaan kakak disini. Kakak akan melanjutkan perjuangan orangtua kita. Dr.Paul, atasan papa dan mama dulu adalah orang yang sangat baik hati. Kakak akan sangat kesepian disini karena tidak ada Hati. Tetapi tenang saja, kakak akan secepatnya mengajak kamu kesini.
Hampir lupa, apa kamu sudah menentukan akan lanjut kuliah dimana? Segera kabar kakak ya…Kakak sangat merindukanmu Hatiku…

Surat kedua.

Port au Prince, 19 Mei 2007
……………
……………
Hati, masyarakat disini ternyata sangat ramah. Tidak berbeda jauh dengan negeri kita, Indonesia. Hal ini membuat kakak serasa berada di rumah. Keramahan mereka membuat banyak kemudahan bagi kakak dalam menjalankan tugas-tugas kakak disini. Kamu tau tidak, jarak-jarak rumah warga disini agak berjauhan, dan kebanyakan tanahnya tidak rata alias berbukit-bukit. Hal ini sangat menyulitkan saat kakak saat melakuakan kunjungan pasien, terutama karena semua perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Mungkin saat kamu melihat kakak nanti, kamu akan kaget karena kakak kurusan. Cuma sedikit sih…
Kenapa kamu masih belum membalas surat kakak? Masih marah ya?
……………
……………

Surat ketiga.
Port au Prince, 26 Juni 2007
……………
……………
Kakak akan menceritakan kepada kamu tentang seorang gadis yang kakak temui disini. Namanya Helena.
Dia adalah seorang wanita yang sangat cantik, walaupun belum bisa menandingi kecantikan Hatiku. Orangnya baik hati dan sangat ramah, semua yang berada di dekat dia pasti akan merasa nyaman, termasuk kakak. Dia adalah anak dr.Paul, dan sudah hampir 2 tahun dia membantu ayahnya disini, itu berarti dia mengenal Papa dan Mama kita. Ya, dia mengenal mereka dan lumayan akrab. Helena banyak bercerita tentang Papa dan Mama, apa kegiatan mereka, yang mereka lakukan sehari-hari, dan ternyata Mama sering menceritakan tentang kita berdua kepadanya. Katanya saat menceritakan tentang kita, kata-kata Mama menyiratkan kerinduan yang sangat dalam.
Kamu dengarkan Hati? ternyata saat berada disini Papa dan Mama sangat merindukan kita. Sangat merindukan kita. Seperti kita bedua yang selalu merindukan mereka.
Helena adalah gadis yang sangat hebat. Walaupun tidak berlatarbelakang dunia kesehatan, dia banyak mengerti tentang kesehatan terutama tentang penyakit MDR TB yang sementara kita perangi disini. Terlebih lagi dia sangat dekat dengan pasien. Dia dapat mendiamkan bayi yang sedang menangis, dapat menyuruh meminum obat seorang bapak yang pemarah, bahkan menghibur hati seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya.
Dia pasti akan cepat akrab dengan kamu jika kalian bertemu nanti.
Hati, sepertinya kakak telah jatuh cinta dengan Helena…
……………
……………

‘Surat keempat dan kelima masih menceritakan seputar kegiatan K’Raka di Haiti, dan tentunya tentang Helena. Bagaimana hubungan mereka semakin dekat, hingga akhirnya K’Raka memutuskan akan menikahi Helena pada bulan Januari 2008 nanti. Momen dimana K’Raka akan mengajakku ke Haiti untuk menyaksikan kehidupannya disana.’
‘Ada yang lain dengan surat keenam dan ketujuh, surat-surat itu bukan dari K’Raka, tapi kedua-duanya dari Helena dan ditujukan untuk Hati.’
            Perasaan Hati menjadi tidak enak. Segera dia membuka amplop surat dari Helena, mengambil suratnya dan mulai membacanya. Surat itu ditulis menggunakan bahasa Inggris, dengan tulisan tangan yang sangat indah.

Port au Prince, 23 September 2007
Dear Hati.
Aku meminta maaf karena telah lancang menulis surat kepadamu. Padahal kita berdua belum lagi saling kenal, meskipun Raka mengatakan dia telah sering menceritakan tentang diriku lewat surat-suratnya kepadamu. Bagaimana kabar kamu Hati? Aku berharap semoaga kamu baik-baik saja.
Raka yang memintaku menulis surat ini. Katanya dia takut kamu akan khwatir kalau dia terlambat mengirim surat. Kamu pasti bertanya, mengapa bukan Raka yang menulis sendiri. Hal itulah yang akan aku jelaskan padamu.
Hati yang baik,
Saat ini kondisi Raka tidak memungkinkan dirinya untuk menulis. Sebenarnya dia tidak mau mengabarkan hal ini padamu karena dia tau kamu pasti akan terguncang mendengarnya.
Tangan Hati tiba-tiba gemetar mendengar surat dari Helena. Dia membaca lanjutannya.
Raka adalah seorang dokter yang sangat baik dan bertanggung jawab. Semua pasiennya sangat senang dengan dia dan merasa puas dengan pengobatan yang dia lakukan. Dia sangat tekun dalam mengurusi pasien-pasiennya. Jika melihat dia aku jadi teringat dr.Hermansyah, papamu. Banyak pasien yang telah disembuhkannya. Dan ternyata kesembuhan pasien-pasiennya itu harus dia bayar mahal, yaitu dengan kesehatannya sendiri. Aku sudah sering menasehati dia agar menjaga kesehatannya. Tetapi rasa tanggung jawabnya membuat dia selalu bekerja extra keras hingga membuat kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Hingga akhirnya dia terjangkit virus TB, dan saat ini MDR TB telah menggerogoti tubuhnya.
Aku sangat sedih dengan kejadian ini, kamu tentu tahu bahwa kami berdua telah berencana menikah beberapa bulan lagi. Saat ini aku harus melihat laki-laki yang sangat aku cintai ini dalam kondisi tidak berdaya. Disini pengobatan maksimal sedang diusahakan untuk kesembuhan Raka. Aku meminta kepadamu untuk ikut mendoakan dia. Dan satu hal pesan dari Raka, dia meminta kamu untuk memaafkannya.
……………
……………

            Sekarang surat dari Helena telah basah oleh air mata Hati. Segara diambilnya surat Helena yang berikutnya.

Port au Prince, 30 November 2007
……………
……………
Raka telah meninggal dunia, dua hari yang lalu.
Besok lusa adalah pemakamannya, aku berharap kamu bisa datang. Semoaga surat ini tidak terlambat sampai di Indonesia.
……………
……………

***
            Hati terkulai lemas di tempat duduknya. Air matanya tidak mau berhenti mengalir.
‘Tuhan, mengapa harus K’Raka juga?’ rintih Hati dalam hati.
‘Mengapa Tuhan? Tidak cukupkah Engkau mengambil Papa dan Mama dariku? Ini semua salahku! Harusnya aku menahan K’Raka pergi waktu itu. Mengapa aku tidak berbicara dengannya? Mengapa aku biarkan dia?? Mengapa baru sekarang aku membaca surat-surat ini??!’
            Tersisa sebuah surat di atas meja. Surat terakhir dari Helena yang bertanggal 28 desember 2007. Isi surat itu.
Pesan terakhir dari Raka untukmu…
Hatiku tersayang, datanglah ke Haiti.
***
  H
ati termenung memandang keluar jendela pesewat. Setelah hampir lima jam di bandara Washington, sekarang dia telah berada di pesawat yang akan membawanya ke Haiti.
‘Ya Tuhan, semoga langkah yang aku ambil ini adalah benar. Semoga dengan kedatanganku ke Haiti, aku bisa menemukan apa yang telah hilang dariku. Papa, Mama, dan K’Raka…’
            Dua jam di atas pesawat, akhirnya Hati tiba di Haiti. Saat di bandara, dia mencari-cari orang yang akan menjemputnya. Saat menoleh ke kanan, tampak olehnya seorang gadis cantik dan anggun, memegang sebuah kertas dengan kedua tangannya bertuliskan “Hati from Indonesia”.
‘Gadis inikah yang bernama Helena? Ternyata K’Raka telah membohongiku. Dia jauh, jauh lebih cantik dariku.’
            Hati segera menghampiri wanita itu.
“Hai, apa anda Helena?”
“Oh, ya. Saya Helena. Kamu tentunya Hati. Tetap cantik seperti di foto yang diperlihatkan Raka padaku.”
“Iya, apa kamu akan menemani saya mencari Hotel?”
“Hotel? Untuk apa? Kamu akan tinggal di rumahku. Ayah sudah tahu akan kedatanganmu. Dan dia mengijinkan kamu tinggal bersama kami.”
“Terima kasih banyak.”, Hati tersenyum.
‘Hati telah datang ke Haiti, Ma. Hati telah datang untuk melihat kehidupan kalian bertiga. Dan Hati datang bukan untuk berjalan-jalan ataupun bernostalgia, tapi Hati datang atas dasar rasa kemanusiaan…Rasa kemanusiaan yang telah Hati pahami dari pekerjaan yang telah kalian lakukan disini. Rasa kemanusiaan yang akhirnya telah menyadarkan Hati.’
***
Sepuluh tahun kemudian.
            Dalam sebuah acara penerimaan penghargaan nobel di Paris, Perancis. Terdengar suara seorang MC membacakan nama peraih penghargaan nobel.
“Atas jasa-jasanya dalam memerangi penyakit MDR TB yang menjadi ketakutan dunia, mari kita sambut penerima nobel kemanusiaan kita untuk tahun ini…..Prof.dr.Namira Hati Hermansyah.”
“Plak…plak…plak…” tepuk tangan riuh seluruh undangan yang menghadiri acara itu.
Dari arah belakang, berjalanlah seorang wanita dengan anggun menuju podium.
Wanita itu adalah…
Hati dari Haiti.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar