Entri Populer

Sabtu, 14 Mei 2011

UMUM: Masalah HD Karena Penggunaan Multi OS


Untuk Orang-Orang yang Menggunakan Multi OS

Jika kamu menggunakan dua atau lebih OS dalam laptop atau PC, maka hati-hatilah jika kamu berkeinginan (atau sekedar coba-coba) merubah kapasitas/menambah partisi hardisk. Dengan menambah atau mengurangi kapasitas partisi HD dapat merusak OS yang kamu simpan didalam salah satu partisi HD tersebut. Bukan hanya merusak OS-nya, tetapi juga dapat merusak smart harddrive dari HD internal yang terpasang dalam PC. Dan akibat terburuknya adalah semua data yang tersimpan akan hilang. Telah banyak orang-orang yang mengalami kerusakan HD karena hal ini (termasuk saya sendiri). Jika smart harddrivenya bermasalah maka tidak ada jalan lain selain mengganti HD internal dalam PCmu. Berikut ini akan saya sampaikan beberapa tips jika kamu berkeinginan untuk merubah kapasitas partisi HD tanpa menginstal ulang OS yang kamu miliki:

1.      Jangan sekali-kali merubah kapasitas dari partisi C (tempat system tersimpan).
2.      Pastikan dengan benar dipartisi mana (misal: D, E, atau F) kamu menyimpan OS kedua yang kamu gunakan di PC.
3.      Jangan mengubah kapasitas partisi tempat kamu menyimpan OS tersebut, misalnya dengan Shrink Volume (mengurangi kapasitas) ataupun Extand Volume (menambah kapasitas) karena hal inilah yang dapat mengganggu kerja OS sehingga akan berakiba fatal (OS tidak bekerja, kerusakan HD, dll).
4.      Jika kamu ingin menambah partisi HD dari yang sudah ada (misalnya dari 2 partisi akan dijadikan 4 partisi), akan lebih aman jika kamu membuat Virtual Hard Disk (VHD) dibandingkan dengan membuat partisi baru. Hal ini dapat mengurangi resiko kehilangan data yang sering terjadi.

Demikian, semoga artikel ini bermanfaat.

Jumat, 29 April 2011

Puisi


Ayah

Aku ingin mati saja
Ketika tahu dia telah pergi dariku
untuk selama-lamanya

Aku ingin mati saja
Ketika tahu aku tak lagi bersamanya

Aku ingin mati saja
Ketika tahu semua cita-citaku hancur
sejak dia tiada

Aku ingin mati saja
Ketika tahu tak ada lagi tempatku untuk bersandar
Ketika tahu tak ada lagi tempatku bertanya
Tak ada lagi tempatku untuk bergantung
Tak ada lagi yang menemaniku merangkai angan dan khayalku
Aku ingin mati saja

Tapi suatu malam dia hadir dalam tidurku
Dan berkata, “Jangan mati dulu anakku, jangan mati dulu.
Karena aku ingin kamu menjadi yang terbaik bagiku.
Bukankah itu juga yang sebenarnya kamu inginkan?
Jadi yang terbaik bagiku…”

Aku terbangun
Aku tak ingin mati lagi

Aku hanya punya satu keinginan
Aku ingin jadi yang terbaik
Yang terbaik bagimu
Ayah…

                                                                                    ~Amanda La Hadi~


Catatan:
Puisi ini dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia kelas XII. Temanya “Aku ingin”
Dapat nilai A+          

Mathematics : Ketakhinggan (part 1)




Perkembangan pemikiran manusia, kemudian melihat berhitung dalam pengertian yang lebih luas lagi. Mereka tidak hanya memperhatikan bilangan besar tetapi mereka juga memikirkan bagaimana hakekat sesungguhnya bilangan besar yang tak hingga. Demikian pula manusia tidak sekedar melihat bilangan itu sampai pada ketiadaan atau nol, tetapi juga memikirkan bagaimana sebenarnya hakekat bilangan-bilangan renik yang terus mendekati ketiadaan dan bagaimana jika digandakan dengan bilangan yang terus men-dekati ketakhinggaan. Orang kuno pernah menyusun masalah ini, kemudian berakhir pada paradoks. Utamanya, hal ini dapat kita jumpai pada zaman Yunani Kuno dengan munculnya Paradoks Zeno[1] yang baru bisa terjawab setelah 2000 tahun kemudian,  ketika ahli-ahli matematika menciptakan pengertian limit dari seri/deret tak hingga.
            Sekalipun kemampuan menghitung ataupun teknik pemecahan dalam berhitung sudah ditemukan, sekalipun masalah bilangan renik dapat ditangani melalui berhitung dalam wilayah yang baru, namun masalah ketakhinggaan di dalam berhitung masih belum terpecahkan sampai abad ke 20. Masih banyak pertanyaan yang timbul seperti berapa besarkah jumlah tak hingga ditambah lima atau ditambah seratus. Demikian pula dalam hal pengurangan, perkalian, dan perpangkatan. Aturan berhitung kita yang ada tidak dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Di manakah letak kekurangan dalam perhitungan kita sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti itu dapat diselesaikan? Lambat laun timbullah keraguan akan berhitung atau pada umumnya matematika yang telah kita kenal itu.
            Akhirnya ada orang-orang yang sampai pada keyakinan bahwa kesulitan itu terletak pada pengertian  dasar tentang bilangan yang kita pergunakan dalam berhitung. Mereka berusaha mencari tafsiran baru tentang bilangan sehingga masalah tak hingga itu dapat tercakup ke dalamnya. Demikianlah akhirnya muncul pengertian bilangan transfinit yang berbeda dengan pengertian bilangan sebelumnya. Dengan pengertian bilangan itu masalah ketakhinggaan dapat terpecahkan.
            Pada tahun 1970 yang lalu yakni beberapa puluh tahun setelah bilangan transfinit itu muncul, dalam Tertium Organum, Ouspensky menyatakan bahwa, “Aksioma dari matematika yang biasa, hanya dapat diterapkan pada besaran-besaran yang terhingga dan tetap”. Dan dengan tetap itu dimaksudkan bahwa nilai bilangan itu adalah tetap sehingga apabila terjadi perubahan pada bilangan itu oleh operasi berhitung maka bilangan itu pun akan berubah nilainya. Menurut Ouspensky alam kita tidak didasarkan pada bilangan tetap seperti itu sehingga oleh karenanya bilangan tetap itu hanya ciptaan manusia belaka. Alam mengenal bilangan tak hingga, alam adalah luas tak hingga dalam waktu yang tak hingga pula, sehingga adalah sifat alam apabila bilangan-bilangan itu terus sama setelah mengalami operasi berhitung dan tidak ikut berubah seperti halnya pada matematika biasa. Tak hingga ditambah tak hingga atau dikali tak hingga atau juga dipangkat tak hingga adalah tetap sama tak berubah yakni tak hingga juga. Itulah sifat alam sehingga bilangan demikian itu serasi dengan alam. Oleh karena itu Ouspensky juga menulis bahwa, “Tanpa dilebih-lebihkan kita dapat mengatakan bahwa aksioma dasar dari matematika dan dari logika hanya benar sejauh matematika dan logika itu berkenan denagan besaran-besaran buatan, bersyarat,  dan yang tidak ada di dalam alam”. Matematika biasa itu “tidak real, ia hanya ada di dalam kesadaran kita, di dalam khayalan kita”, sedangkan matematika dengan bilangan transfinit “adalah real, ia menyatakan hubungan dari dunia real”. Jadi dengan demikian menurut Ouspensky itu bukannya ketakhinggaan yang perlu kita pecahkan melalui berhitung atau pada umumnya melalui matematika melainkan konsep berhitung atau matematika kitalah yang tidak mencerminkan sifat alam sesungguhnya. Konsep matematika itulah yang perlu diubah.
            Di samping Ouspensky masih banyak lagi pendapat para ahli yang menunjang bilangan transfinit beserta semua masalah yang ikut ditimbulkannya. Kemudian ternyata bahwa konsep baru itu telah membuka lagi wilayah baru di dalam berhitung atau pada umumnya di dalam matematika sehingga bersama itu pula lahirlah matematika baru.
            Namun setelah itu, pengertian ketakhinggan menimbulkan bermacam-macam tafsiran, sehingga kemudian kita menemukan istilah ketakhinggan matematika, ketakhinggaan tulen dari filsafat, ketakhinggaan potensial dan ketakhinggaan sejati. Apabila kalau kita menelaah sifat-sifat ketakhinggaan itu secara lebih luas dan mendalam maka kita pun akan menemukan bermacam-macam masalah dan pengertian. Masalah ketakhinggaan pada matematika atau pada berhitung cukup rumit sehingga kerumitan itu memberi kesempatan kepada  berhitung untuk berkembang  dan maju. Paling tidak kita menemukan perkembangan dari kuno ke modern dan itu pun suatu jasa dari ketakhinggaan.
            Sejauh ini belum kita bicarakan hal ketakhinggaan di Eropa Kuno dan Lama sehingga di sini ingin kita bicarakan bagaimana pandangan mereka terhadap ketakhinggaan itu. Ternyata seperti halnya orang-orang Yunani Kuno mereka juga belum dapat memasukkan pengertian tak hingga ke dalam berhitung  tanpa mengalami kesulitan. Kalaupun terdapat perbedaan di antara mereka dalam hal berhadapan dengan ketakhinggaan maka perbedaan itu terletak pada kaitan ketakhinggaan. Orang Yunani Kuno mengaitkannya dengan alam sedangkan orang-orang Eropa Kuno dan Lama mengaitkannya dengan keagamaan. Sesuai dengan keadaan keagamaan pada masa itu mereka sukar membahas pengertian ketakhinggaan dengan bebas.
            Sebenarnya orang Eropa Kuno dan Lama menerima pemikiran ketakhinggaan dari orang-oarang Yunani. Namun  sesuai dengan zamannya mereka menerimanya bukan pada saat pengertian itu sedang berkembang dengan baik melainkan mereka menerimanya setelah zaman Plato dan Aristoteles. Ketenaran Aristoteles sangat berpengaruh terhadap para pemikir setelah zamannya itu sehingga pandangan Aristoteles terhadap ketakhinggaan ikut terbawa ke zaman sesudahnya. Dalam hal ini Aristoteles memandang tak hingga dalam pengertian infinitum actu non datur yakni tak hingga tak ada dalam kenyataan sesungguhnya. Demikianlah maka Origenes (185-254) turut menolak keperiadaan tak hingga yang sesungguhnya sejalan dengan paham Aristoteles.
Hampir seabad kemudian St. Agustinus (354-430)  juga berbicara tentang tak hingga namun hal ini hanya dibatasinya pada luasnya rentangan bilangan dan tidak lebih dari itu. Dalam De libero arbitrio St. Agustinus menyatakan bahwa bilangan disebut sebanyak kali bilangan itu memiliki satu. Bila suatu bilangan memiliki dua kali satu maka bilangan itu disebut dua; tiga kali satu disebut tiga; …. Dan selanjutnya dikatakannya juga bahwa tiada seorang pun dapat mencapai semua bilangan, “karena bilangan tak terbatas”.
Demikian pula Johannes Scotus Erigena yang hidup dalam abad kesembilan menulis dalam Patrologia latina CXXII bahwa berhitung mulai dengan kesatuan dan daripadanya semua bilangan berkembang serta ke dalamnya mereka berubah; ilmu ukur mulai dengan titik dan daripadanya semua bentuk berkembang serta ke dalamnya mereka berubah. Dan dalam pengertian ini bilangan itu dapat saja berkembang sampai tak hingga tetapi bagaimana sifat ketakhinggaan tidak dibicarakan.
Kiranya yang agak banyak menyinggung bilangan tak hingga adalah Robert Grosseteste (1169-1253) ketika ia membahas cahaya dalam buku Tentang Cahaya atau Permulaan Bentuk. Menurut Grosseteste cahaya adalah bentuk pertama yang diciptakan oleh zat pertama. Cahaya melipatgandakan dirinya sendiri sebanyak tak hingga kali pada semua sisi serta menyebar sacara seragam ke setiap arah. Dan dari bahasan cahaya ini Grosseteste melompat ke bahasan bilangan untuk selanjutnya ke hal keagamaan.
“Mungkin saja,” kata Grosseteste, “bahwa jumlah tak hingga bilangan berhubungan dengan suatu jumlah (kuantitas) tak hingga dalam setiap perbandingan….” Dan selanjutnya ia menyatakan:
“Dan beberapa tak hingga adalah lebih besar daripada tak hingga lainnya, dan beberapa lagi adalah lebih kecil. Jadi jumlah semua bilangan  baik genap maupun ganjil adalah tak hingga. Bersamaan dengan itu ia lebih besar dari semua bilangan genap sekalipun ini juga adalah tak hingga, karena ia melampauinya dengan jumlah dari semua bilangan ganjil. Juga, jumlah dari semua bilangan yang dimulai dari satu dan berlangsung terus dengan menggandakan dua setiap bilangan berurutan selanjutnya adalah tak hingga, dan dengan jalan yang sama jumlah dari semua paruhan yang berhadapan dengan bilangan berganda dua itu adalah tak hingga. Jumlah dari paruhan-paruhan ini haruslah separuh dari jumlah  ganda dua mereka. Demikian pula jumlah dari semua bilangan yang dimulai dari satu dan berganda tiga secara berurutan adalah tiga kali jumlah semua pertigaan yang berhadapan dengan ganda tiga itu.”

Demikianlah Grosseteste telah menganggap bilangan tak hingga seolah-olah memiliki besaran yang berbeda-beda. Tidak heran kalau ia juga sampai beranggapan bahwa perkalian sesuatu yang sederhana sampai tak hingga kali[2] harus menghasilkan suatu jumlah yang terhingga. Dan hal ini dipergunakan untuk menerangkan cahaya yang melipatgandakan dirinya tak hingga kali tetapi masih terhingga jumlahnya. Atau sekurang-kurangnya demikianlah pendapat Grosseteste.
Kemudian St. Thomas Aquinas (1225-1274) mempunyai pengertian tersendiri tentang ketakhinggaan. Menerima paham Aristoteles tentang tiadanya tak hingga yang sesungguhnya St. Thomas Aquinas mengemukakan pengertian kemampuan di samping sesungguhnya. Sebagai contoh dikatakannya bahwa seorang anak adalah lengkap dan sempurna sebagai seorang anak, tetapi di samping itu anak itu juga masih mempunyai kemampuan-kemampuan yang belum terpenuhi. Atau dengan kata lain anak itu masih dapat menjadi lebih sempurna lagi sekiranya anak itu dapat mengembangkan sesuatu yang mampu dikembangkannya. Dengan demikian terdapatlah suatu perbedaan dasar antara sesungguhnya dan kemampuan untuk sempurna. Di dalam sesuatu yang terhingga, menurut St. Thomas Aquinas, selalu terdapat suatu campuran antara kemampuan dan sesungguhnya. Dan dari pengertian ini kita dapat membandingkan tak hingga sesungguhnya (yang tiada) dengan kemampuan untuk ke tak hingga.
Itulah sebabnya menurut St. Thomas Aquinas kita dapat menganggap bahwa: “Keserbaterusan (continuum) sebagai berkemampuan untuk terbagi ad infinitum. Karena tak hingga sesungguhnya tidak ada maka tiada garis yang terkecil; titik bukan garis yang terkecil [3] melainkan hanya merupakan bagian dari garis karena titik tidak terbagi. Dari ketidakterbagian tidak dapat muncul keserbaterusan (kekontinuan). Suatu titik hanya dapat melahirkan suatu garis melalui gerak”.
Selanjutnya menurut St. Thomas Aquinas satu-satunya yang tidak mengandung hanya sekedar kemampuan tetapi secara lengkap merupakan sesungguhnya yakni yang secara lengkap merupakan keperiadaan tak hingga yang murni sesungguhnya adalah Tuhan.
Kemudian pada abad kelimabelas Nicholas Krebs atau Nicholas dari Cusa dalam bukunya De docta ignorantia menyatakan bahwa tak hingga sebagai tak hingga saja tak diketahui karena tak hingga ada di atas semua perbandingan sehingga tak hingga sudah menunjukkan pembedaan dengan lainnya dan demikian pula tak hingga tak dapat dipahami tanpa bilangan.
Menurut Nicholas dari Cusa bilangan mencakup segala sesuatu yang mampu diperbandingkan termasuk kemampuan untuk sama atau berbeda. Bilangan mengenal peningkatan berangsur-angsur dari kecil ke besar tetapi dalam hal tak hingga tiada peningkatan berangsur-angsur dari terhingga ke tak hingga.
Tak hingga adalah suatu maksimum dan pada maksimum tiada lagi tingkatan berupa lebih atau kurang dan dengan demikian pula tiada sama dengan. Tiada yang dapat lebih besar dari maksimum mutlak dan sesungguhnya maksimum itu lebih besar dari daya kita untuk memahaminya.
Seperti halnya  maksimum tiada yang dapat lebih kecil dari minimum sehingga keduanya itu memiliki sifat yang sama atau maksimum dapat dipadankan dengan minimum. Kalau maksimum itu kita terapkan ke keliling lingkaran dan minimum itu ke pusatnya maka pada tak hingga pusat  dan lingkaran adalah sama. Dengan pengertian ini Nicholas dari Cusa mengemukakan bahwa alam semesta itu tidak berpusat di bumi.
Setengah abad kemudian kita temukan Giordano Bruno (1548-1600) yang juga membahas tak hingga. Dalam bukunya De l’infinito, universo, e mondi Bruno mengatakan bahwa alam semesta adalah tak hingga. Dalam hal ini Bruno membedakan dua macam tak hingga pada alam semesta, yakni tak hingga dalam ukuran serta tak hingga dalam banyaknya dunia-dunia. Secara keseluruhan alam semesta adalah tak hingga tidak terbatas dan tidak berpermukaan. Namun Bruno juga menyatakan bahwa alam semesta tidak tak hingga total sebab setiap bagian daripadanya yang kita pilih adalah bersifat terhingga dan dengan demikian juga setiap dunia di antara tak hingga banyaknya dunia itu masing-masing adalah terhingga.
Pengertian tak hingga total dan tak hingga tidak total ini timbul karena masalah keagamaan. Tak hingga total mengandung arti bahwa bagian daripadanya adalah juga masing-masing tak hingga dan satu-satunya tak hingga total adalah Tuhan. Sedangkan tak hingga tidak total artinya bagian daripadanya yang kita pilih adalah bersifat terhingga.
Buku Bruno itu ditulis dalam bentuk percakapan, dan pembicara yang membawakan pikiran Bruno di situ adalah Philoteus. Demikian pula dalam bukunya Heroici Furori terdapat juga percakapan. Menuangkan pikirannya melalui Tansillo kita temukan pandangan Bruno tentang tak hingga. Dalam buku ini Bruno mengatakan bahwa bertentangan dengan kenyataan alamiah apabila tak hingga itu dipahami karena dengan demikian maka ia menjadi terhingga. Jadi tak hingga tetap terletak di luar pemahaman manusia.
Demikian telah kita lihat bahwa masalah tak hingga pada zaman Eropa Lama masih tidak lebih maju dari zaman Yunani Kuno. Dan dengan demikian paradoks yang dikemukakan oleh Zeno masih belum dapat diselesaikan pada zaman itu.
Pada abad ketujuhbelas John Wallis (1616-1703) mempergunakan lambang untuk menyatakan tak hingga. Lebih jauh Wallis menulis 1/0 = ; suatu rumusan yang tidak lagi kita terima pada zaman sekarang. Pada awal abad ketujuhbelas para ahli matematika  telah menangani deret tak hingga, di antaranya adalah Rene Descartes (1596-1650). Descartes telah memecahkan kebuntuan beberapa abad, yakni dapat menjelaskan paradoks Zeno secara memuaskan dengan menggunakan limit jumlah deret tak hingga. Walaupun sudah ada kemajuan namun para ahli matematika yang sezaman dengan Descartes belum juga menemukan pemecahan dalam hal bilangan tak hingga. Bilangan tak hingga masih saja menjadi masalah pada operasi berhitung. Pembahasan ketakhinggaan pada  waktu itu belum ditampilkan dalam matematika melainkan ditampilkan di dalam filsafat. Demikianlah kita temukan antinomi dari Immanuel Kant.
Kalau ketakhinggaan St. Agustinus menyangkut “tak hingga sesungguhnya” dan “kemampuan tak hingga” yang lebih banyak bersifat keagamaan maka ketakhinggaan yang dikemukakan Kant menyangkut ruang, waktu, serbaterus, diskrit, sebab-akibat, dan kebetulan. Hal ini merupakan ketakhinggaan yang pernah dibahas pada zaman Yunani Kuno.
Dalam antinomi, Kant mempertentangkan tak hingga dan terhingga dalam masalah ruang dan waktu. Mengemukakan dalam bentuk antinomi tersebut ternyata Kant mempertahankan kedua-duanya yakni Kant menyatakan bahwa ruang dan waktu terhingga dan juga tak hingga. Tentunya hal ini berkaitan dengan alam pikiran Kant sendiri yang yakin bahwa ada “sesuatu di dalam sesuatu itu sendiri” yang terletak “di luar” pemikiran tetapi merupakan kenyataan yang terpisah. Alasan untuk mengatakan dunia  terhingga kata Kant akan sama kuat dengan alasan untuk mengatakan dunia tak hingga. Oleh karena itu antinomi Kant ikut menggolongkan terhingga dan tak hingga demikian sebagai “sesuatu di dalam sesuatu itu sendiri” dan terletak “di luar” pemikiran manusia.
Dengan pandangan Kant ini maka ketakhinggaan yang belum dibahas dalam matematika pada waktu itu tidak juga menemukan pemecahan secara filsafat. Ketakhinggaan merupakan sesuatu yang belum dipahami orang.
Sebagai lanjutan dari usaha pengetatan matematika oleh D’Alembert, Gauss, Cauchy dan lain-lainnya, pengetatan itu dijadikan pokok dalam matematika oleh Karl Weierstrass (1805-1857). Turut pula dalam usaha ini antara lain Leopold Kronecker (1823-1891), Ernst Eduard Kummer (1810-1893), Georg Frobenius (1849-1917), Richard Dedekind (1831-1916), Wilhelm Weber (184-1891), dan Georg Cantor (1845-1918). Berasal dari Berlin kelompok ini kemudian dikenal dengan Perguruan Berlin.
Mereka berkesimpulan bahwa pengetatan dasar metematika harus dilakukan melalui pengetatan bilangan sedangkan pengetatan pengertian bilangan harus dimulai dari pengetatan pengertian bilangan asli karena mereka beranggapan bahwa matematika didasarkan atas bilangan dan semua bilangan didasarkan atas bilangan asli. Keyakinan inilah menyebabkan timbulnya pernyataan Kronecker dalam suau pertemuan di Berlin pada tahun 1886: “Bilangan bulat dibuat oleh Tuhan dan lain-lainnya adalah buatan manusia”, suatu pandangan yang berbeda dengan pandangan Yunani Kuno karena para ahli matematika Yunani Kuno menganggap dewa “berilmu ukur”. Kronecker berpatokan pada bilangan rasional sedangkan Dedekind menganggap bilangan rasional dan bilangan irrasional adalah sama. Dedekind melihat deret bilangan sebagai titik pada garis dan dengan “memotong” garis itu pada tempat tertentu kita menemukan bilangan rasional sedangkan dengan “memotong” garis itu di tempat lain yang tertentu kita menemukan bilangan irrasional. “Potongan” demikian ini kita kenal sebagai “potongan” Dedekind. Hal ini menyebabkan pertentangan di antara Kronecker dan Dedekind.
Dalam membahas bilangan  karena bilangan adalah dasar matematika mereka sampai pula ke masalah bilangan tak hingga. Kronecker berpedoman kepada pengertian “tak hingga sesungguhnya” yang bertentangan dengan pengertian bilangan Cantor. Cantor melihat bilangan dalam kerangka “Mengenlehre” dan hal ini membawa Cantor ke teori bilangan transfinit. Demikian terjadilah pertentangan di antara sesama penganut pemberhitungan matematika terutama antara Kronecker dan Cantor. Berkaitan dengan filsafat matematika pertentangan itu kemudian berkepanjangan sampai sekarang.
Apabila kita mengikuti lambang bilangan tak hingga dari Wallis maka kita akan memperoleh daftar berikut ini.
1.    + c = dengan c adalah bilangan real sebarang
2.      c - = - dengan c adalah bilangan real sebarang
3.      - c = dengan c adalah bilangan real sebarang
4.      + =
5.      x c = dengan c adalah bilangan real positif
6.      x c = - dengan c adalah bilangan real negatif
7.     x 0 tidak didefinisikan
8.      x =
9.      - x = x - = -
10.   > tidak didefinisikan
11.   tidak didefinisikan
12. tidak didefinisikan
13.  =
14.  > = jika c>1
15.  tidak didefinisikan jika c>1
16.  >  tidak didefinisikan jika c < -1
17.  harganya dapat didekati dengan menggunakan teori limit jika –1< c < 1
18.  = 0 jika c = 0
19. = 1 jika c =1
20. -   tidak didefinisikan
21.  / tidak didefinisikan
22.  -/- tidak didefinisikan
23.  /- tidak didefinisikan
24.  -/ tidak didefinisikan
25.  0/0 tidak didefinisikan
26.  - <
27.  Jika - < x< maka dikatakan x berhingga (berbilang). Jadi setiap bilangan real < dan setiap bilangan real > -
28.  1/0 tidak didefinisikan
29.  1/  tidak didefinisikan
30.  1/-  tidak didefinisikan
31.  0/  tidak didefinisikan
32.  0/-  tidak didefinisikan



[1]Zeno dan Parmenides telah menyatakan bahwa perasaan -pengalaman dan penglihatan- dapat menyesatkan.
[2] Tak hingga kali harus dibedakan dengan kali tak hingga. Sebagai contoh: 0 kali tak hingga tidak menghasilkan apa-apa (tidak didefinisikan), atau 1 kali tak hingga menghasilkan tak hingga (tidak terdefinisi), sedangkan 0 digandakan tak hingga kali berarti    0 x 0 x 0 x 0 x…. = 0; 1 digandakan tak hingga kali  sama dengan 1 x 1 x 1 x 1 x…. =1. Ini adalah keistimewaan bilangan bulat 0 dan 1. Bagaimana dengan bilangan tak utuh antara 0 dan 1 jika digandakan tak hingga kali? Hasilnya akan menuju ke 0. Jadi dalam hal ini, benar  untuk menulis 0~ =0 (baca: Nol pangkat tak hingga sama dengan 0), 1~ =1 (baca: Satu pangkat tak hingga sama dengan satu), atau 1 ´ =, yang tidak benar adalah jika kita menulis 0´ = 0. Hal terakhir ini mengacu pada paham bahwa ketakhinggaan itu hanyalah suatu kemampuan yang dapat didekati dan tidak dapat dicapai.
[3] Kita tidak bisa menerima definisi, bahwa titik adalah lingkaran berjari-jari nol, sebab keberadaan lingkaran itu didahului oleh keberadaan titik, yakni lingkaran terbentuk karena adanya gabungan titik-titik.