Entri Populer

Kamis, 21 April 2011

Mathematics: "Sejarah Bilangan 0"


B I L A N G A N   N O L  (0)

 Sekilas Sejarah Bilangan Nol   
Berkaitan dengan sejarah bilangan nol, tentu tidak akan lepas dari sejarah bilangan secara umum. Karena itu dalam tulisan ini kajian sejarah bilangan secara umum sekaligus sudah mencakup sejarah bilangan nol itu sendiri.
            Pendapat-pendapat para ahli sejarah tentang bilangan nol beraneka-ragam, tidak heran jika kita bisa menjumpai berbagai versi kajian dan tulisan berbeda yang telah diterbitkan baik dalam bentuk paper, buku, majalah ilmiah, bulletin, makalah, ataupun jurnal. Hal ini disebabkan dinamika kajian yang dilakukan selalu meningkat seiring dengan bergulirnya waktu, penemuan-penemuan bukti baru tentang sejarah dan teknik penelitian mutakhir serta metode analisa sejarah yang lebih modern.
            Dalam tulisan ini akan dipaparkan sejarah bilangan yang bersumber dari ringkasan tulisan tiga orang penulis dan ahli sejarah matematika, filsafat dan fisika. Sumber tersebut adalah buku-buku yang berisi tulisan-tulisan, yang mereka kutip dari tulisan ahli sejarah Eropa (Barat) dan Timur, ditambah beberapa naskah yang merupakan penelitian-penelitian mereka.
            Meskipun versi-versi ini berbeda secara tekstual namun secara hakiki, di sana-sini kita masih dapat menemukan banyak persamaan. Salah satu misalnya, cikal-bakal bilangan-bilangan yang kita pakai dan diketahui sekarang ini yakni bilangan desimal:1,2,3,4,5,6,7,8,9, sudah dikenal di India Kuno (Hindu) dan kemudian disempurna-kan oleh bangsa Arab. Sedangkan mengenai bilangan nol masih terdapat perbedaan tentang bangsa penemunya. Ada yang mengatakan penemunya adalah bangsa Babilonia, ada juga bangsa India Kuno (Hindu) atau Indian Maya, dan ada pula yang menyatakan penemu bilangan nol adalah bangsa Arab.

 Kutipan Dalam Buku “Ilmu Matematika Dalam Peradaban Islam” Karangan ‘Ali ‘Abdullah Ad-Difa

            Pengenalan angka-angka India-Arab serta perluasan penggunaannya di dunia Arab dan Islam berkat jasa ilmuwan terkenal Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi yang biasa disebut Algoritmi, yang menulis buku tentang angka-angka India-Arab. Dengan demikian bentuk-bentuk dari angka-angka India-Arab mulai menempati huruf-huruf abjad. Cara penulisan angka-angka di kalangan orang India Kuno, oleh para ilmuwan muslim  terlihat mudah dan jelas serta tidak mempunyai kerumitan apapun. Karena itu, para ilmuwan muslim mengambil gagasan tentang angka-angka ١,٢,٣,٤,۵,٦,٧,٨,٩, dari orang India Kuno, tetapi dalam pengembangannya mereka mengambil arah yang berbeda dalam hal tertentu dari arah yang diambil oleh orang India Kuno. Bagaimanapun akan logis jika kita menyebut angka-angka ١,٢,٣,٤,۵,٦,٧,٨,٩, dinamakan angka India-Arab (Hindu-Arab), sedangkan angka 1,2,3,4,5,6,7,8,9 adalah angka-angka Arab. Sekalipun akar-akarnya berasal dari angka-angka India-Arab, bangsa Arablah yang telah memasukkan ke dalamnya berbagai penyusunan dan penyerdehanaan sehingga terkenal di dunia dalam bentuknya yang sekarang.
            Bangsa Arab telah mengenal angka kosong (nol) sejak semula. Ada kalangan sejarawan dalam bidang sains yang berkeyakinan bahwa nol itu ciptaan orang Babilon, yang ada dan digunakan pada masa Saluki, lalu pindah ke Yunani, dan kembali lagi kepada bangsa Arab. Atau ahli-ahli ilmu hitung dan ilmu falak muslimlah yang menggunakan sistem seksagenarian. Mereka mewarisi angka nol sebagai bagian dari warisan ilmu hitung Babilon yang mereka terima. Tidak dapat diragukan bahwa bangsa Arab telah  mengembangkan konsep nol yang memberikan kemudahan tidak terbatas kepada proses perhitungan. Mereka mengenalnya sebagai tempat yang kosong dari segala hal. Namun konsep ini pada hakekatnya berarti banyak. Para ahli matematika memandang nol sebagai penemuan yang paling besar yang dikenal umat manusia.
            Ketika umat Islam mengembangkan angka nol, mereka menggambarkannya dengan lingkaran di mana titik menjadi pusatnya: “”. Di Masyriq mereka meme-    lihara titik (pusat lingkaran) dan menggunakannya bersama angka-angka mereka: ١,٢,٣,٤,۵,٦,٧,٨,٩,۰. Sedangkan di Magrib, mereka memelihara lingkaran tanpa titik pusatnya, maka angka-angka Arab adalah sebagai berikut: 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0.
            Umat Islam memilih titik untuk menggambarkan kosong (nol) kerena titik mempunyai urgensi penting dalam penulisan dan sastra Arab yang mereka pandang sebagai pembeda dan pengontrol antara huruf-huruf.  Sudah lama terkenal bahwa sastra Arab sangat berkembang dan banga Arab adalah pengagum dan penikmat sastra yang hebat.
            Seperti dikenal di kalangan sejarawan sains, ilmuwan muslim mengenal kosong dan menggunakannya dalam tulisan dan buku karangan mereka sejak tahun 259 Hijiriah. Kosong (nol) mempunyai berbagai keistimewaan. Yang terpenting di antaranya adalah penemuan pecahan desimal dan biner yang membantu dalam penciptaan komputer, misalnya.
            Dari kekuasaan Islam di Andalusia, angka-angka India-Arab disebarkan di Eropa oleh Leonardo da Pisa (Leonardo Fibonacci), orang Italia, yang hidup antara tahun 1225-1270 Masehi Fibonacci mempelajari matematika dari para ilmuwan muslim terkenal. Ayahnya adalah seorang pedagang yang berhubungan dengan umat muslim. Banyak sejarahwan dalam ilmu-ilmu matematika yang memandang bahwa dengan  penggunaan angka Arab beserta nolnya, Fibonacci telah menyelamatkan Eropa.
            Dengan dasar berhitung menurut Abu Kamil dan Al Khwarizmi (Algorithmus), Fibonacci menulis Liber Abaci pada abad ke-12. Di dalamnya terdapat pengetahuan berhitung dengan bilangan bulat dan pecahan, cara menghitung akar dua dan akar tiga, cara memecahkan persamaan linear dan kuadrat, dan cara berhitung melalui Penjajagan dengan Jawaban Palsu.

Kutipan Dalam Buku “Matematikawan Muslim Terkemuka”  Karangan Mohaini  Mohamed
            Karya aritmetika Al-Khwarizmi berjudul “Kitab al-jam wa’l-tafriq bi-hisab al-Hid kemungkinan ditulis setelah beliau mengerjakan karya fenomenal AlgebraVersi Latin dari buku ini ditemukan pada tahun 1857 di perpustakaan Universitas Cambridge. Tulisan aritmetika  karya Al-Khwarizmi yang kemudian diterjemahkan oleh Adelard of Bath pada abad ke-12. Buku itu diterbitkan pertama kali oleh B. Boncopagni dengan judul Algoritmi de numero indorum (Roma,1857) dan kemudian oleh Kurt Vogel dengan judul Mohammed ibn Musa Alchwarizmi’s Algorithmus (Aalen,1963). Karya Al-Khwarizmi itu diketahui sebagai buku pelajaran pertama yang ditulis dengan menggunakan sistem bilangan desimal. Hasil yang penting dari hasil kerja Al-Khwarizmi ini adalah pengenalan notasi yang pertama kali menggunakan basis angka Arab 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0 dan pola penempatan nilai. Notasi nol juga membuka jalan bagi konsep penulisan bentuk positif dan negatif dalam aljabar.
            Masyarakat Hindu mengunakan kata ‘sunya’ untuk penulisan nol yang mengandung makna kosong atau hampa. Al-Khwarizmi mengganti kata ‘sunya’ dengan ‘sifr’. Setelah diperkenalkan oleh Al-Khwarizmi simbol notasi nol dikenal secara luas dan digunakan paling sedikit 250 tahun dalam dunia Islam sebelum bangsa Eropa datang dan mengenal simbol tersebut. Dalam bahasa Latin  notasi nol sering kali terjadi perubahan  secara terus-menerus yaitu cipher, zipher, zephirum, zenero, cinero, dan masih banyak lagi bentuk lainnya. Hingga abad ke-17 dan 18 ahli matematika seperti Adrian Metiers (1611), Herigone (1634), Cavalieri (1643) dan Euler (1783) masih menggunakan istilah cipher  untuk menotasikan penulisan nol.
            Notasi penulisan yang digunakan saat ini dapat dikatakan berasal dari penemuan Al-Khwarizmi dan masa kejayaannya  berlangsung pada periode pemerintahan  Islam. Meskipun secara umum disebutkan bahwa sumber penulisan angka ١,٢,٣,٤,۵,٦,٧,٨,٩,۰, berasal dari bangsa India Kuno, tetapi beberapa peneliti tidak menyetujui pendapat tersebut. Karena itu dapat dikatakan bahwa keberadaan bilangan berbasis puluhan dan sistem penulisan desimal masih tetap merupakan satu kajian.
            Carra  de Vaux, seorang peneliti sejarah ilmu matematika, mengungkapkan bahwa kata ‘hindi’ sering membingungkan pemakaiannya dengan penggunaan kata ‘hindasi’  di dalam literatur-literatur Arab. ‘Hindasi’ mengandung relasi dengan geometri atau ‘the art of the engineer’. Dalam beberapa kasus yang menggunakan kata ‘hindi’, sebenarnya lebih tepat jika digunakan kata ‘hindasi’. Carra  de Vaux memberi contoh lain pada bidang astronomi di mana suatu siklus bertahap dinamai hindi yang diterjemahkan dengan ‘siklus matematika’.
            Angka nol telah ditemukan dalam catatan astronomi pada suku Indian Maya di daratan Amerika Tengah. Catatan itu kemungkinan merupakan titik balik dari perhitungan periode (waktu) yang ada pada saat itu. Suku Maya menggunakan sistem vigesimal dengan tetap berpegang pada nilai-nilai lokal. Sekitar 400 SM, suku bangsa Babilon memadukan penggunakan prinsip  kaidah nilai dengan notasi simbol angka nol yang diadaptasikan oleh mereka sebagaimana dapat dilihat pada catatan-catatan astronomi dan model penerapan perhitungan.
            Notasi penulisan angka pola Arab dengan sistem penomoran desimal 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0 merupakan salah satu karya terbaik dari intelegensi manusia  dan berhak mendapat penghargaan. Singkatnya penggunaan sistem penomoran adalah salah satu pencapaian tertinggi dari pemikiran manusia. George Sarton menyatakan:
“Bentuk tertua dari notasi penomoran, huruf Yunani dan Ibrani serta simbol-simbol Romawi tidak  memadai untuk digunakan dalam operasi aritmetika. Bahkan dianggap mustahil digunakan karena adanya batasan-batasan yang berlaku, sementara tidak demikian dengan sistem Hindu-Arab. Pertentangan antara simbol Romawi dengan Arab tidak hanya berlaku pada kasus sistem penomoran, tetapi mencakup seluruh  metode aritmetika.”

Kutipan Dalam Buku “Berhitung Sejarah dan Perkembangannya” Karangan Dali S. Naga
            Yang benar-benar baru dalam sistem penulisan lambang bilangan Hindu (India Kuno) adalah penggunaan lambang bilangan nol. Penemuan angka nol oleh India Kuno ternyata adalah penemuan yang terbesar dan penting dalam pengetahuan berhitung karena berkat penemuan itu pengetahuan berhitung memperoleh landasan baru  untuk berkembang jauh ke depan. Dan tidak kalah pentingnya adalah kenyataan bahwa lambang bilangan nol itu dapat menjadi jembatan antara banyak logika pemikiran dengan berhitung sehingga banyak pemikiran dapat disajikan dalam rumusan-rumusan berhitung yang sederhana dan mudah dipahami.
            Memang secara terpisah orang-orang Indian Maya di benua Amerika telah menemukan lambang bilangan nol dan telah pula mempergunakan dalam sistem penulisan lambang bilangan Maya. Penemuan ini mungkin pada abad pertama atau kedua sesudah Masehi. Lambang nol mereka menyerupai mata setengah tertutup. Namun penemuan itu belum dapat mereka kembangkan  untuk memajukan pengetahuan berhitung. Orang-orang lain yang hidup di sekitar Maya yang mungkin saja dapat menyerap pengetahuan bilangan nol itu ternyata belum juga dapat memanfaatkannya  untuk mengembangkan pengetahuan berhitung lebih dari pengetahuan yang telah dimiliki oleh orang-orang Maya. Itulah sebabnya maka jasa penemuan bilangan nol banyak kita kaitkan dengan India Kuno (Hindu) karena kebetulan kebudayaan nol yang menyebar ke luar dari India Kuno dapat bertumbuh subur dan kemudian memajukan pengetahuan di berbagai tempat. Lambang bilangan India Kuno kira-kira mulai ada sejak tahun 595. Hal ini ditandai dengan penemuan pelat kuno yang bertuliskan angka tahun 346 dalam lambang bilangan Hindu.
            Penyebaran lambang bilangan Hindu ke barat dipercepat lagi dengan kebangkitan Arab pada abad ketujuh menyusul munculnya agama  Islam setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah pada tahun 622 M (1 Hijriah). Menjelang akhir abad ketujuh Arab telah menguasai suatu wilayah yang sangat luas merentang dari wilayah India (Hindustan) di timur sampai ke wilayah Spanyol (Andalusia) di barat. Penguasaan wilayah seluas itu melancarkan pula penyebaran lambang bilangan Hindu ke mana-mana. Dan bersama itu pula bentuk lambang bilangan Hindu mulai mengalami sedikit perubahan dan penyempurnaan pada penulisan oleh penulis-penulis Arab dan hasil ini kemudian dikenal sebagai lambang bilangan Hindu-Arab. Cara penulisan dengan angka-angka Hindu-Arab ini dirasa perlu karena perkembangan kesusatraan, pengurusan wilayah, pendataan pajak, perdagangan dan jumlah penduduk dalam wilayah yang kekuasaan Islam yang besar memerlukan kalkulasi matematika dalam bilangan-bilangan yang harus ringkas, simpel, efektif dan efisisen.
            Pada tahun 755 wilayah kekuasaan Arab itu terpecah dua. Khalifah Arab Timur berpusat di Baghdad dan Khalifah Arab Barat berpusat di Cordoba (Cordova) Spanyol. Lama-kelamaan  pemisahan pemerintahan ini membawa pengaruh pada pengetahuan yang ada di kedua wilayah yang berbeda itu. Bentuk lambang bilangan Hindu-Arab berubah secara sendiri-sendiri di timur dan di barat. Dan bersama itu kemudian terdapat lambang bilangan Arab Timur yang kemudian menjelma menjadi lambang bilangan Arab sekarang ini. Dan  di samping Arab Timur terdapat pula  lambang bilangan Arab Barat yang dikenal dengan nama lambang bilangan Gobar.
Bagaimana lambang bilangan Arab Timur dan sistem lambang Gobar itu digunakan orang kiranya sudah kita ketahui bersama. Berpangkal pada sistem penulisan lambang bilangan Gwalior (India Kuno) kedua sistem penulisan lambang bilangan Arab itu adalah seperti sistem penulisan lambang bilangan yang sedang kita pergunakan sekarang. Perbedaan mereka hanya terletak pada bentuk lambang bilangan itu saja. 
Sesuai dengan letak wilayah serta hubungan yang terjadi kemudian antara Arab dan Eropa maka tidak mengherankan apabila lambang bilangan Gobar itulah yang masuk ke Eropa dan selanjutnya berkembang menjadi lambang bilangan yang kita pergunakan sekarang ini.
Penerimaan lambang bilangan Gobar atau lambang Hindu-Arab di Eropa ternyata tidak berjalan lancar dan cepat. Eropa yang pada waktu itu menggunakan lambang bilangan Romawi masih mempertahankan penggunaan lambang bilangan Romawi melalui aturan-aturan yang dikeluarkan oleh para penguasa. Dan kemudian perang Salib yang pecah antara penganut agama Kristen dan penganut agama Islam, menimbulkan anti Islam oleh bangsa-bangsa Eropa, menyebabkan Gereja dan penguasa di Eropa mengeluarkan aturan hukum yang melarang penggunaan lambang bilangan Hindu-Arab oleh para bankir. Larangan itu dikeluarkan di Florence pada tahun 1299 dan dikenal sebagai “Arte Del Cambio”. Dan hal-hal semacam ini sangat menghambat penggunaan lambang bilangan Hindu-Arab di Eropa.
Menurut catatan kuno lambang bilangan Hindu-Arab di Eropa terdapat pada Codex Vigillanus di Spanyol dan berasal dari tahun 976. Buku terkenal lainnya yang memperkenalkan lambang bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0 di Eropa adalah Liber Abaci yang ditulis pada tahun 1202 oleh Leonardo Fibonacci. Naskah Perancis yang tertua menggunakan lambang bilangan Hindu-Arab berasal dari tahun 1275. Dan uang logam tua di Sicilia Italia yang bercetakkan lambang bilangan Hindu-Arab di permukaannya ada yang menunjukkan angka tahun 1134.
Sekedar sebagai gambaran kita dapat melihat bagaimana pedoman penggunaan lambang bilangan Hindu-Arab itu dikembangkan di Italia. Didalam buku pedoman atau Practica pertama yang dicetak dan diterbitkan di Treviso Venesia pada tahun 1478 antara lain tercantum petunjuk sebagai berikut:
“Lambang bilangan adalah penyajian bilangan oleh lambang seperti yang  ditunjukkan disini, 1.,2.,3,4,5,6,7,8,9,0. Dari kesemuanya itu lambang pertama 1 tidak dinamakan bilangan melainkan sumber bilangan. Lambang ke sepuluh, 0 disebut cipher atau nulla yakni lambang dari ketiadaan karena secara sendirian ia tidak mempunyai nilai sekalipun bila berkaitan dengan lainnya ia meningkatkan nilai mereka.”
Sumbangan terbesar berhitung India-Arab penuh terhadap pengetahuan berhitung kita bukan terletak pada bilangan-bilangan besar. Sumbangan mereka itu terletak pada penciptaan bilangan nol dan ternyata bilangan nol mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengetahuan berhitung sampai sekarang ini. Betapa besar peranan bilangan nol dalam sistem berhitung kita sekarang kiranya dapat kita rasakan sekiranya semua bilangan nol yang kini kita pergunakan kita tiadakan. Ini berarti tidak saja sistem penulisan bilangan kita akan kacau melainkan juga sebagian pengetahuan kita tentang berhitung harus pula ditiadakan. Itulah sebabnya dalam hal bilangan nol ini Max Black menyatakan bahwa “Sekalipun tampaknya biasa saja namun penggunaan nol dapat dianggap sebagai salah satu ciptaan kecendekiaan dari kebudayaan modern”. Demikian pula Hollingdalle dan Tootill menyatakan bahwa:
“Nol melengkapi dunia dengan catatan yang luwes serta mudah sehingga setiap bilangan, betapa besarpun bilangan itu adanya dapat dinyatakan secara khas oleh lambang-lambang tersusun berurutan yang diambil dari perangkat yang sepuluh. Bilangan itu memberikan tingkat perkembangan berhitung pada masa beberapa abad sesudahnya.”

Dan Peter Baslow dalam bukunya New Mathematical and Philosopical Dictionary (1814) menyatakan bahwa:
“Penemuan sistem bilangan nol sebagai lambang dari penggolongan yang hilang, mungkin adalah salah satu di antara langkah yang paling penting yang pernah diambil dalam matematika dan hal ini membangkitkan penghormatan terhadap penciptanya (penemunya: pen) sebesar seperti terhadap setiap pencipta lain dalam sejarah ilmu pengetahuan.”

Dalam satu hal kita dapat menganggap nol sebagai suatu ungkapan tentang ketiadaan atau kekosongan. Dan di dalam hal lainnya kita perlu menganggap nol sebagai bilangan. Demikianlah maka Morris Klein mengingatkan bahwa bilangan nol harus dengan hati-hati dipisahkan dari pengertian tentang ketiadaan dan bilangan (keperiadaan). 
Sampai sekarang belum ada orang yang mengetahui dengan pasti bilamana bilangan nol diciptakan di India Kuno. Apalagi untuk mengetahui siapa penciptanya. Beberapa pernyataan dikemukakan orang untuk memastikan zaman ketika bilangan nol itu diciptakan. Namun sampai sekarang belum ada bukti yang meyakinkan tentang pernyataan itu. Paling-paling hanya kita ketahui bahwa bilangan nol sudah ada sebelum abad ke tujuh karena nol telah muncul dalam tulisan pada waktu itu. Pada zaman itu bilangan nol dikenal sebagai sunya yang berarti kosong dan di dalam naskah yang ditemukan di Bakhsali lambang nol dinyatakan sebagai titik. Sampai sekarang kita belum mengetahui bilamana naskah Bakhsali itu dibuat, tetapi diperkirakan naskah itu berasal dari zaman sesudah abad ke 3 dan sebelum abad ke 8. Dalam abad ke 9 lambang bilangan nol telah berwujud bulat telur seperti yang kita kenal sekarang ini. Diperkirakan bahwa perubahan itu terjadi melalui bentuk segienam atau bentuk tertutup lainnya sekitar titik itu untuk menghindarkan keragu-raguan atau pemalsuan. Lambang bilangan Arab yang menerima bilangan nol sebelum perubahan itu masih tetap mempertahankan bentuk titik.
Sunya dari India kuno ini kemudian dikenal oleh Arab yang menamakannya menurut artinya, al-sifr atau sifr. Sifr berarti tempat kosong. Dan sifr inilah yang kemudian masuk ke Eropa Lama untuk menjadi kata zephirum atau cephirum serta bentuk-bentuk ubahan lainnya. Di samping ada juga yang mengambil artinya sehingga berbentuk kata nulla figura yang berarti bilangan kosong. Melalui kata nulla itu kita temukan kata nol yang kita pergunakan sekarang ini.
Pada zaman dahulu bilangan nol itu terutama diperlukan untuk dipergunakan dalam lambang bilangan yang ditulis berdasarkan sistem letak bilangan. Demikianlah ada yang menemukan bahwa sesungguhnya lambang nol dalam pengertian letak bilangan yang kosong telah ada di Mesopotamia dan dalam bentuk tulisan baji  nol. Lambang bilangan nol juga diperlukan di Cina Kuno dan Indian Maya karena lambang bilangan mereka juga ditulis berdasarkan sistem letak bilangan. Diperkirakan bilangan nol mulai dipergunakan di Cina Kuno pada abad ke-10 atau abad  ke-11 yakni pada zaman dinasti Sung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar